Aturan baru itu, tentu saja memberatkan dua raksasa sepak bola di eks Karesidenan Besuki, Persid Jember dan Persewangi Banyuwangi.
Setahu penulis, hingga kini baik Persid maupun Persewangi belum bernaung di bawah Perseroan Terbatas (PT). Kalau memang betul belum punya PT, berarti keduanya harus berpacu dengan waktu. Segera membentuk PT untuk memenuhi persyaratan pertama, yakni legalitas klub. Andai mereka sudah memiliki PT sekalipun, tidak otomatis kedua klub bertetangga itu bisa berkompetisi di LI tahun ini. Sebab, masih ada syarat yang lebih berat yang harus dipenuhi. Syarat yang satu itu saat ini sedang membuat pusing hampir semua klub anggota PSSI. Terutama klub seperti Persewangi dan Persid yang selama ini menyusu ke dana APBD.
Seperti ramai diberitakan, PSSI akan mengubah format kompetisi LI. Sistem kompetisi ISL (Indonesia Super League) dan Divisi Utama serta kompetisi amatir yang diikuti klub Divisi I, Divisi II, dan Divisi III dihapus. Selanjutnya LI hanya mengenal kompetisi Level I dan Level II. Klub yang mengikuti kompetisi hanya dibedakan dari kemampuannya membayar deposit. Bagi klub yang ingin berlaga di Level I atau Top Division, cukup membayar deposit sebesar Rp 5 miliar. Sedangkan yang hanya mampu membayar deposit Rp 2 miliar harus rela berkompetisi di Level II.
Sebetulnya, masih ada beberapa syarat lain. Tapi ,untuk konteks Persid dan Persewangi syarat-syarat itu tidak terlalu signifikan di bahas dalam kesempatan ini. Sebab, urusan finansial tersebut bisa mengganjal keikutsertaan klub kebanggaan masyarakat Bumi Blambangan dan Jember itu. Memenuhi syarat deposit Rp 2 miliar saja rasanya berat bagi Persid dan Persewangi, apalagi harus membayar uang jaminan Rp 5 miliar untuk berlaga di kasta tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia di era kepengurusan baru PSSI. Kecuali jika mereka melakukan langkah-langkah taktis. Yang pasti, langkah itu bukan merayu atau memaksa bupati untuk segera mencairkan anggaran APBD untuk bayar Deposit. Itu langkah konyol. Sebab, Permendagri No. 2 tahun 2011 sudah jelas melarang penggunaan dana APBD untuk sepak bola profesional. Memaksa merongrong dana APBD untuk bola profesional sekarang sama dengan korupsi. Tidak percaya? Silakan coba! He he he…
Lalu, seperti apa langkah taktis itu? Pengurus klub semestinya sudah menyiapkan proposal spesial. Proposal itu harus menarik. Supaya kalau ditawarkan kepada berbagai pihak bisa laku. Sebetulnya, bisa saja bupati atau pimpinan tertinggi daerah ‘memaksa’ para pengusaha atau perusahaan untuk urunan. Tapi, langkah-langkah seperti itu masih relevan. Apa justru tidak menimbulkan kolusi baru antara penguasa dan pengusaha. Bisa saja pengusaha akan bilang begini: OK, taruhlah kami akan mendanai klub Persewangi atau Persid, tapi kami dapat apa dari pemkab?
Maka, tidak ada jalan lain lagi kecuali jualan proposal kepada pengusaha. Pengurus harus mampu meyakinkan para pengusaha jika bersedia mensponsori klub yang ditanganinya akan dapat keuntungan ini dan itu. Semakin banyak ini dan itu-nya semakin membuka peluang untuk menarik perhatian sang pengusaha. Ingat, isi otak pengusaha hanya ada satu: untung. Segala sesuatu selalu diukur dengan untung. Meski untung bagi seorang pengusaha tidak selamanya berarti materi alias uang. Misal, dana ratusan juta yang telah diberikan kepada salah satu klub akan berdampak positif pada image usaha si pemberi dana. Brand image atau logo perusahaan ditaruh mana. Di bagian depan jersey atau belakangnya? Kalau di depan, di bagian atas atau bawah, begitu dan begitu seterusnya. Tentu saja masih banyak pertanyaan yang harus bisa dijawab oleh pengurus klub.
Itu tugas berat memang. Tapi, kalau pengurus bisa menjawab dan meyakinkan para pengusaha, sangat mungkin klub akan banjir dana. Dan, bila itu yang terjadi pengurus layak disebut pahlawan, pahlawan bola tepatnya.
Mari kita tunggu kelahiran pahlawan bola kebanggaan daerah tercinta ini!
Sumber: Radar Banyuwangi
No comments:
Post a Comment