Monday, October 1, 2012

Menghapus Predikat Kota Terkotor

Menumpuknya sampah di beberapa lokasi menjelang pelantikan Bupati Abdullah Azwar Anas pada bulan Oktober 2011 lalu, membuat Banyuwangi dapat predikat baru tidak menggembirakan. Yakni, kota terkotor di Jawa Timur (Jatim). Kabar tidak menyenangkan ini sebenarnya telah diterima oleh Pemkab Banyuwangi sejak beberapa pekan lalu. Predikat kota terkotor itu diberikan oleh tim juri Adipura dari Pusat Regional Jawa yang berkantor di Jogja setelah mereka terjun ke Banyuwangi pada bulan November 2010. Jadi, predikat itu bersumber dari hasil penilaian Adipura tahap pertama.

Untuk tingkat Jatim saja, sebanyak 36 dari 38 daerah tingkat II yang ikut penilaian Adipura, Kota Banyuwangi berada pada urutan paling buncit. Selain Banyuwangi, ada lima kota lagi yang juga mendapat predikat sebagai kota terkotor, masing-masing Bondowoso, Batu, Jember, Pamekasan dan Pare (Kediri). Nilai yang dicapai untuk kota terkotor ini sudah beberapa tahun terakhir ini belum banyak bergeser, sehingga Pemprov Jatim meminta secara khusus kepada salah satu juri Adipura asal Jatim untuk ‘’membina’’ enam kota ini. Harapannya, tahun 2012 mendatang kota-kota terkotor itu bisa meraih Adipura seperti kota-kota di Jatim lainnya. Sehingga, hal ini akan semakin memperkokoh predikat Jatim sebagai kota Adipura seperti yang disandang sekarang.
Pekan kemarin, tim penilai Adipura kembali turun ke Banyuwangi untuk melakukan tugasnya. Hanya saja, penilaian Adipura tahap kedua ini tidak melibatkan juri dari tim Pusat Regional Jawa melainkan hanya dari Jatim. Pasalnya, di penilaian tahap pertama hasil yang didapat Banyuwangi dan lima daerah lain jeblok. Sehingga, tim penilai Adipura tahap berikutnya cukup wakil dari provinsi saja yang turun sekaligus melakukan pembinaan. Kalau tim penilai dari Pusat Regional Jawa biasanya tidak terbuka dan sulit diajak komunikasi, kemarin tim penilai dari Jatim justru banyak memberi masukan. Terutama mengenai kelemahan dan apa saja yang diperlukan untuk memperbaiki kota ini agar kelak bisa meraih Adipura.
Untuk penilaian Adipura ini, tidak semua wilayah Banyuwangi yang memiliki 24 kecamatan akan dinilai. Ada empat kecamatan yang menjadi fokus penilaian, khususnya yang berada di wilayah perkotaan. Masing-masing Kecamatan Kota Banyuwangi, Giri, Glagah dan Kalipuro. Sedang komponen yang dinilai meliputi perumahan; jalan arteri dan kolektor (di dalam kota); sekolah; perkantoran; tempat pembuangan sementara (TPS); tempat pembuangan akhir (TPA); alun-alun dan taman kota. Selain itu, juga rumah sakit dan puskesmas; hutan kota; sungai; saluran terbuka; terminal; stasiun, pelabuhan dan pertokoan.
Sedang parameter penilaiannya untuk lokasi-lokasi di atas, antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Misalnya, untuk perumahan parameternya meliputi keteduhan pohon dan penghijauan di taman-taman. Selain itu, harus ada tempat sampah di depan rumah yang peruntukannya untuk sampah basah dan kering dipisah. Termasuk kalau tempat sampahnya sudah memakai sistem composting 3R (memanfaatkan, mengurangi dan daur ulang), tentu nilainya lebih tinggi. Yang juga tak luput dari penilaian adalah adanya drainase, termasuk kondisinya masih berfungsi dengan baik atau tidak. Sementara untuk tempat-tempat layanan umum seperti stasiun, terminal, pelabuhan, rumah sakit dan sekolah, yang dinilai terutama soal kebersihan kamar mandinya.
Bagaimana dengan kondisi kebersihan, keteduhan dan keasrian lingkungan di Banyuwangi? Salah satu yang membuat nilai Banyuwangi jeblok dalam penilaian Adipura adalah masalah sampah. Selain persoalan sampah yang kurang terkelola secara rapi, hingga saat ini kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Jatim ini juga belum memiliki tempat pembuangan akhir (TPA) yang permanen. Termasuk tidak memiliki pengelolaan sampah secara terpadu.
Apalagi, TPA Bulusan di Kalipuro yang belum permanen itu masih sering memunculkan permasalahan dengan warga sekitar. Selain mencemari air sumur, bau sampahnya juga sangat mengganggu dan bikin lingkungan tidak sehat. Akibatnya, warga di sekitar TPA protes dan melakukan penutupan jalan hingga mobil pengangkut sampah tak bisa masuk dan tidak bisa membuang sampah. Sampah pun kemudian bertebaran dimana-mana karena mobil pengangkut sampah tidak bisa beroperasi. Kenyataan ini yang membuat jeblok penilaian Adipura dan membuat Banyuwangi terlempar ke urutan buncit di Jatim.
Padahal, volume sampah di Banyuwangi yang setiap harinya rata-rata mencapai 300 m3 itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Misalnya, setelah dikelola bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan gas untuk sumber listrik maupun bahan bakar memasak. Sebenarnya sudah ada investor pengolah sampah yang masuk, bahkan sudah diberi lampu hijau oleh Bupati Anas, ternyata dengan alasan permodalan hingga sekarang masih belum bisa merealisasikan janjinya.
Selain itu, masalah lain yang bikin jeblok adalah kondisi lingkungan yang banyak tidak memenuhi syarat bila dikaitkan dengan parameter penilaian Adipura. Seperti alun-alun kota kotor, trotoar yang masih belum dioptimalkan untuk pejalan kaki dan kurang tertatanya pedagang kaki lima dengan baik. Termasuk juga kurangnya pepohonan hijau di kanan kiri jalan yang bisa membuat lingkungan menjadi teduh dan asri sekaligus bisa dijadikan sebagai paru-paru kota.
Demikian pula dengan kondisi beberapa jalan di Kota Banyuwangi yang masih belum memenuhi syarat sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Dimana syarat sebuah jalan raya harus ada trotoar, drainase, ruang terbuka hijau, lampu penerangan dan rambu lalu lintas yang memadai. Salah satu kekurangan yang mencolok ada di Jl Yos Sudarso Kalipuro. Terutama menyangkut drainase dan rambu lalu lintas.
Kita semua tahu, setiap hujan turun hujan, Jl Yos Sudarso bagian barat, terutama di depan SDN Klatak I, selalu banjir. Kalau dulu banjirnya hanya terjadi saat hujan turun saja, sekarang sampai lewat sehari terkadang air masih terus menggenang. Hal itu disebabkan oleh tersumbatnya drainase, karena air yang mengalir bercampur lumpur dan batu. Terutama air yang berasal dari lingkungan Klatakan, sebab jalan-jalan di lingkungan Klatakan tidak ada drainasenya sehingga air hujan yang turun ke tempat landai ikut menggerus tanah dan bebatuan. Akibatnya, drainase di tepi Jalan Yos Sudarso menjadi dangkal tersumbat lumpur.
Selain drainase, rambu lalu lintas yang ada di Jl Yos Sudarso juga kurang memadai. Terutama rambu peringatan saat memasuki jalan kembar dari arah utara maupun arah selatan. Fatalnya, di mulut jalan kembar itu seringkali terjadi kecelakaan tunggal, terutama kendaraan dari arah selatan. Pasalnya, sebelum memasuki jalan kembar Yos Sudarso, kontur jalannya menanjak kemudian menurun dan langsung bertemu jalan kembar. Kalau laju kendaraan yang melintas agak cepat dan terkadang lampu penerang jalan pada malam hari tidak menyala, biasanya banyak mobil yang menabrak median jalan.
Kondisinya ini tak jauh berbeda saat kita memasuki jalan kembar Basuki Rahmat dari arah selatan. Sudah berkali-kali rambu penunjuk arah wajib dilewati yang terpasang di median jalan diganti karena tumbang ditabrak pemakai jalan. Anehnya, pihak berwenang tidak terlalu peka untuk berupaya mencari jalan keluar yang lebih cerdas dalam menyelamatkan para pengendara agar kasus kecelakaan tidak terus terulang.
Mengaca dari sering terjadinya kecelakaan di situ, seharusnya rambu yang dipasang tidak cukup hanya dengan rambu petunjuk arah seperti sekarang. Akan lebih tepat dan banyak bermanfaat bagi pemakai jalan manakala di mulut jalan kembar Yos Sudarso maupun Basuki Rahmat dipasang tanda peringatan berupa lampu kedip besar sebagai tanda peringatan untuk hati-hati. Agar lampu peringatan terlihat jelas oleh pengendara, sebaiknya dipasang secara vertikal di mulut median jalan kembar.
Selain berbenah secara fisik, Pemkab Banyuwangi juga harus menyiapkan program untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih, sehat, hijau dan asri. Diantaranya yang disarankan adalah menyiapkan kader-kader peduli lingkungan di setiap desa. Mereka harus dididik dan dikukuhkan sebagai kader lingkungan oleh Bupati agar memiliki motivasi yang besar untuk ikut membenahi lingkungannya dengan mengajak masyarakat sekitar.
Di samping itu juga harus ada moment berupa event terkait kebersihan lingkungan yang bisa dijadikan teladan dan wahana untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat. Salah satu yang telah digagas oleh beberapa daerah adalah event clean and green seperti yang sudah ledilakukan secara rutin oleh Surabaya, Sidoarjo dan Malang bekerjasama dengan media massa. Sebab, dengan digebyarnya agenda clean and green secara massal dan diekspose media akan memacu motivasi masyarakat untuk berkompetisi dan lebih peduli terhadap lingkungannya.
Semoga langkah itu nantinya bisa mengantarkan Banyuwangi terbebas dari predikat sebagai kota terkotor di Jatim. Bahkan, dengan harapan optimis bisa kembali mengantarkan Bumi Blambangan memperoleh Adipura seperti yang terjadi secara berturut-turut mulai tahun 1993 sampai 1997.

Sumber Artikel: Radar Banyuwangi

No comments:

Post a Comment